Sebuah Catatan Tentang IBU

Salah satu kekurangan yang aku sesali sampai sekarang adalah… aku tidak pernah berani mengatakan kepada ibu bahwa aku mencintai dan menyayanginya. Bagi keluargaku, atau lebih tepatnya bagi aku dan ibuku, ungkapan itu adalah hal yang akan dipandang sebelah dan sambil lalu atau hanya sekedar basa-basi yang tidak penting. Entahlah, mungkin mereka pikir kita sedang bercanda atau sedang menghapalkan naskah drama ketika tiba-tiba nyeletuk “Bu, Hafi sayang ibu”. Sepertinya akan ditanggapi dengan datar. Dan … selesai. Setelah itu kita kembali dengan aktifitas kita masing-masing. Aku dan Ibu, masing-masing sangat tertutup.

Aku tidak bisa menjelaskan detailnya. Yang jelas… seingatku, aku tidak pernah mengatakan bahwa aku menyayangi beliau dan aku tahu aku bodoh karena hal itu. Kami hanya bisa saling mengatakan hal itu lewat sesuatu yang tidak bisa dilihat atau didengar oleh kedua mata dan telinga kami. Tapi aku tetap menyesal karena terlalu enggan-atau penakut-untuk mengungkapkan rasa sayang itu langsung dari mulutku sendiri.

 

Aku dan Ibu tidak akan pernah melewati satu haripun tanpa bertengkar, kecuali kami sedang berpisah jauh. Bahkan untuk hal-hal sepele, seperti karena jemuran baju, bumbu masakan, detergen, dan sebagainya. Apalagi ketika kami membicarakan tentang rencana kuliahku. Ibu memang bukan seorang lulusan sarjana apalagi magister. Ibuku mengenyam pendidikannya hanya sampai diploma. Itu pun tidak terlalu dia tekuni karena baginya, mengurus anaknya kelaklah yang terpenting *mungkin(aku hanya menebak pikirannya)*. Dan ketika aku dihadapkan pada beberapa pilihan jurusan perkuliahan yang harus aku pilih, Bapak dan Ibu memberikan saran masing-masing dengan menggunakan otoritas mereka padaku. Aku merasa … tidak bebas menentukan pilihan ketika itu. Bapak adalah seorang pegawai negeri dan merasa nyaman dengan itu, dan karena itu pula beliau merasa bahwa menjadi pegawai negeri jugalah satu-satunya yang dapat memakmurkan hidupmu kelak. Dan ibu mendukung pendapat bapakku. Bukan karena beliau memiliki alasan, tapi lebih kepada satu-satunya yang dia tahu pahit manisnya adalah profesi Bapak.

Aku orang yang tidak suka diperintah. Tidak suka diatur, apalagi ditentukan jalan hidupnya secara sepihak. Memang aku ingin menjadi guru yang notabene kelak adalah pegawai negeri, tapi akupun ingin membuka peluang seluas mungkin dengan mencoba jurusan lain seperti ilmu komunikasi atau kesehatan masyarakat. Tapi menurut Bapak, prospek keduanya sangat sulit dan ibu selalu sependapat dengan Bapak dan memiliki kecenderungan lebih cerewet dalam menasehatiku sampai-sampai ketika aku merasa begitu penat dengan semua itu muncullah sebuah kata yang kelak aku sesali seumur hidup dan sampai sekarang masih membuat aku menangis dan merasa memiliki mulut paling bodoh di dunia jika mengingatnya. Aku bilang pada ibu, “Halaahh… Ibu niku mboten ngertos nopo-nopo(Ibu itu tidak tahu apa-apa).”

Aku merasa akulah yang paling tahu. Aku yang tiap hari browsing di internet tentang Perguruan Tingggi-Perguruan Tinggi, jurusan-jurusannya, dan akreditasinya, serta prospek kedepannya. Akulah yang mencari sendiri info tentang itu dan merasa enggan untuk terkurung dalam pemikiran ibu dan bapak yang statis.

Dan … (aku rasa aku salah)

Setelah itu aku masuk kamar dan baru sadar apa yang aku katakan. Rasanya detik itu juga aku ingin memecahkan kepalaku di kaca jendela, merobek mulutku yang lancang, dan bersedia dicambuk puluhan kali asal bisa menghilangkan ingatan ibuku bahwa aku pernah mengatakan hal semenyakitkan itu. Aku tahu ibuku bukan orang yang sensitive, tapi aku yakin aku telah melukai perasaannya dalam. Dalam sekali.

Aku tersadar oleh perenunganku yang tiba-tiba menyala di depan mataku dan menghujat mulut lancang ini. Dia berkoar-koar seperti gelap mata,

“YA. IBUMU MEMANG TIDAK PERNAH MENCARI TAHU APA-APA TENTANG PERGURUAN TINGGI, TAK TAHU PERSIS PROSPEKNYA, APALAGI SEGALA TETEK BENGEK TENTANG AKREDITASI. TAPI, JANGAN BERPIKIRAN SETOLOL ITU SEHINGGA MENGANGGAP IBU TIDAK INGIN DAN TIDAK PERNAH TAHU TENTANG MASA DEPANMU!!! TENTANG KEBAHAGIAANMU!!! TOLOL!!! LANCANG!!!”

Dan satu lagi … ada suara mengerikan yang datang dari dalam batinku sendiri. Suaranya mencekat, penuh tangis dan berbisik penuh kesakitan. Dia pun memperolokku sama seperti suara perenunganku. Namun suaranya tipis dan sangat menyayat, “ Ibumu memang tak tahu apa-apa, Anak Bodoh… Yang ibumu tahu, dia hanya ingin kau … menemukan apa yang selayaknya menjadi masa depanmu. Sekali dua kali dia memaksa, … memarahimu, … menuntut. Tapi itu semua demi kebaikanmu, Anak Kurang Ajar. Sadarkah… ? kau masih penuh keberuntungan ketika semua ini … dapat kau bicarakan dengan Ayah dan Ibumu. Merenunglah, Anak Lancang! Bagaimana jika semua ini hanya dapat kau pikirkan sendiri … tanpa mereka? Karena mereka sudah tidak bisa bangun dari tidur abadinya … bagaimana … ha? Bagaimana kira-kira, Anak Tak Tahu Diuntung? … “

“CUKUP! CUKUP!” Aku berteriak dalam hati. Meski kamarku terasa sunyi, tapi jelas ada api yang telah membakar leher dan kelopak mataku. Sesak. Panas. Aku bersimpuh di samping kasur. Menelungkup pada kedua tanganku. Terisak. Sadar betapa bodoh dan berdosanya aku. Aku terisak menjadi-jadi. Tapi aku tahan, aku tahan suara isakanku agar tak sampai didengar ibu di ruang sebelah.

Aku ingin minta maaf saat itu juga, tapi sekali lagi … aku terlalu pengecut untuk keluar kamar dan memperbaiki semuanya. Sampai aku membiarkan hari dan malam berlalu. Dan paginya, semua terasa hambar seperti biasanya ketika kita sedang dalam masa perdebatan. Tapi, hambar yang ini beda. Hambar yang ini benar-benar menyakitkan dan membuatku ingin selalu lenyap ketika berpapasan dengan ibu.

Hati kembali ini menangis jika mengingat kisah itu. Tangisan perih yang belum ada penawarnya sampai sekarang, bahkan seratus cambukan sekalipun masih belum bisa membayar impas.

 

Sampai sekarang, aku sendiri pun tidak pernah memaafkan mulut lancang yang telah merobek hati seorang wanita yang rela mati demiku ini. Bodoh!! Bodoh!!

 

Dan rasa bersalahku pun semakin menjadi ketika kisah selanjutnya kuingat.

Ketika tiba saat-saat perjuanganku meraih bangku kuliah. Aku selalu terpaku, seakan membeku seketika, sampai tulang rusukku terasa menusuk-nusuk hati ketika kulihat ibuku tiap dini hari bersujud padaNya. Menyebut namaku. Mendoakanku.

… Ibu menangis.

Ya Alloh … Ya Rabb … seumur hidup aku baru pernah melihat ibuku menangis untuk dua hal. Ketika melihatku diopname karena kecelakaan motor, dan … saat ini. Ketika dia sedang bersimpuh di atas sajadahnya mendoakanku. Menyebut namaku. Sekali lagi … menyebut namaku … sambil menitihkan air mata.

Aku … merasa kebahagiaan yang sempurna sekaligus penyesalan yang dalam. Setiap malam. Setiap dini hari. Ketika aku hendak menunaikan shalat Lail, dan … ibuku sudah berada di tempat shalat mendahuluiku. Tengah khusyuk dalam sujud dan doanya.

 

Ya Alloh … mulutku kaku dan kelu. Harusnya saat itu juga aku katakan bahwa Aku menyayangi beliau. Sangat menyayangi beliau.

Aku mencintai ibu … sebesar aku mencintai Illahi Robb.

 

Jika aku tidak pernah mengungkatkan rasa sayang dan cintaku pada ibu dalam bentuk kata-kata. Begitu juga sebaliknya (aku rasa). Belum pernah mendengar ibu berkata demikian. Tapi seharusnya aku sadar, tanpa dikatakan pun, cinta seorang ibu pada anaknya tidak akan pernah ada yang menandingi besar dan tulusnya.

Ternyata aku salah. Ibu pernah mengungkapkan rasa sayang dan cinta itu padaku, secara tidak langsung, dengan kata-katanya. Bahkan sering. Hanya saja aku terlalu bodoh untuk memahami kata-kata itu.

 

Setelah aku resmi menjadi Mahasiswa di UNNES… aku mendiami salah satu kos di daerah Ngaliyan. Waktu itu aku mendapat kunjungan dari saudaraku, Mba Mul. Ketika aku sedang ngobrol dengan Mba Mul, ibuku menelfon. Ibu mendikte semua yang harus aku lakukan di kos karena aku terbilang baru pernah menjalani hidup sendirian di tempat yang jauh dari rumah untuk waktu yang cukup lama. Ibu mengingatkan aku harus selalu mengunci pintu, membersihkan kamar, menata ini itu … menjaga ini itu… dan blablabla. Mba Mul hanya tertawa mengamati pembicaraanku dengan ibu di telepon. Dia tahu aku bête diceramahi dan didikte satu-satu.

Setelah itu telepon aku tutup dengan geram. Aku mengendus kesal.

“Kenapa, de?” Tanya Mba Mul.

“Biasa. Ibu. Apa-apa didikte, huh. Ngga di rumah, ngga di kosan.”

Mba Mul tersenyum penuh arti. Dia pun berkata, “ Maksudnya ibumu sebenarnya ingin menyampaikan kalo … ‘ibu sayang dan kangen sama Hafi. Jaga diri baik-baik di sana.’ Begitu …,”kata Mba Mul lembut. Tapi, selembut apapun kata-kata itu, rasanya seperti jarum tajam yang menusuk kuping dan hatiku. DEGH!! Tepat ketika detakan jantung beradu pada bilik dan serambinya.

 

Aku langsung terpaku dan larut pada pikiranku sendiri.

Sekarang aku paham. Aku tahu. Bahwa ketika ibu kita sedang memarahi kita, melarang kita untuk bermain-main di luar terlalu lama, melarang kita untuk hujan-hujanan, melarang kita untuk ini untuk itu… itu adalah bahasa sandi yang tidak sempat aku pecahkan karena hanya kudengar sambil lalu.

Padahal, bahasa sandi ibu … penuh arti dan penuh makna-yang sayangnya-kadang kita lewatkan begitu saja.

Bahasa itu memiliki terjemahan yang sangat lembut dan tulus meski diungkapkan dengan kata-kata yang keras atau terkesan cerewet.

Bahasa itu telah terbaca olehku sekarang.

“Ibu sayang kamu, Nak. Tapi kenapa kamu tidak pernah mengerti?”

 

Pesanku :

Einstein bukanlah ilmuwan besar tanpa seorang ibu yang mengandung, melahirkan dan membesarkannya. Alexander The Great bukanlah seorang pemimpin yang dikagumi dan disegani seluruh orang di dunia tanpa kasih sayang dan didikan dari ibu yang telah melahirkannya. Jendral Sudirman bukanlah pahlawan besar yang dipuja-puja bangsa Indonesia tanpa seorang ibu yang melahirkannya dan merawatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.  Dan Nabi Muhammad SAW pun mungkin tidak akan pernah ada tanpa rahim mulia Aminah, ibundanya.

Kalau boleh protes, ketika di alam kubur kita ditanya tentang Siapa Tuhanmu? Apa Agamamu? Siapa Nabimu? Dsb, seharusnya … ada satu lagi pertanyaan yang harus diajukan … Siapa Pahlawan Terbesar-mu?

 

… Ibu.

 

 

NB : Jujur, ketika menulis note ini, saya butuh satu setengah bungkus tissue untuk mengelap air mata dan menyumpal kedua hidung saya agar tidak meler terus menerus. Hehehe ^_^v

Sebuah Persimpangan Sebuah Refleksi

  1. 1. Siapa diri saya?

Saya adalah seorang yang ingin selalu menikmati hidup lebih dari orang lain. Saya hanya bisa bernapas dalam lingkungan yang mendukung saya untuk berjalan, berdiri tegap, lantang berbicara, dan menunjukkan siapa saya.  Saya benci rutinitas dan keteraturan karena saya senantiasa melakukan perubahan pada diri saya. Namun, pada suatu waktu saya pun merasa perlu adanya keteraturan itu sendiri, meskipun entah bagaimana mewujudkannya.

Saya adalah pribadi yang easy going sekaligus moody. Jika saya sedang dalam mood ceria, saya bisa melakukan apapun yang terbaik, apapun yang saya suka, saya bisa menjadi orang paling menyenangkan yang kalian temui, atau orang paling baik yang kalian hadapi. Tapi jika mood saya sedang tidak baik, sebaliknya. Jangan harap saya akan muncul ke permukaan. Malah mungkin, mood saya bisa menular ke kalian dan membuat aura di sekeliling saya mengelam.

Saya ingin selalu menjadi pemimpin. Mengatur orang lain sesuai jalan pikiran saya. Tapi untuk sementara waktu ini, bahkan mengendalikan pikiran, obsesi, ideos, dan mindset saja, saya masih kewalahan. Jadi, segala hal tentang pemimpin itu… tidak akan pernah saya paksakan. Lebih baik menjadi pemimpin alami daripada menjadi seorang yang disebut pemimpin tapi hanya simbolisasi saja.

Saya seorang yang sangat tertutup dan mudah mencampakan perasaan saya sendiri. Sehingga terkadang saya melewatkan sesuatu yang bisa saja sangat berharga bagi hidup saya dan baru menyadarinya setelah semuanya selesai. Tapi sekarang,saya sedang mencoba berubah untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka, saya sedang mencoba untuk mempercayai orang lain untuk menceritakan apa yang ada di  dalam hati saya sekarang dan … nyatanya… itu bukan hal yang buruk untuk dicoba.

  1. 2. Apa tujuan hidup saya?

Tujuan hidup saya adalah… mati dengan bahagia. Maksudnya adalah mati dengan tidak sia-sia. Saya ingin mendapatkan arti hidup yang sebenarnya, dengan menikmati hidup itu sendiri. Berpetualang, berteman, berceloteh, berfilsuf, belajar, menyanyi, bercanda, berbagi, dan masih banyak lagi hal yang ingin saya lakukan untuk mencapai tujuan hidup itu sendiri. Dan secara riil yang mungkin bisa membuat saya mati dengan bahagia adalah :

  1. Sukses secara materi agar dapat meng-hajikan kedua orang tua saya serta membantu mereka membiayai pendidikan adik-adik saya.
  2. Sukses secara rohani agar dapat membimbing diri pribadi dalam memilih jalan hidup, memilih pasangan hidup, mendidik anak-anak saya nanti, menyelamatkan diri untuk akherat, dan menjadi tokoh yang bermanfaat pada setiap jejak yang saya lalui. Sekali lagi, seorang tokoh tidaklah selalu mereka yang bermain di atas panggung, tapi juga termasuk mereka yang menata sorot lampu, mereka yang mengarahkan aksi panggung, dan atau mereka yang menyiapkan panggung itu sendiri.
  3. Sukses secara jasmani agar dapat mati dalam kondisi wajar.
  4. 3. Apa hal yang paling bermakna dalam hidup saya?

Hal yang paling bermakna bagi hidup saya adalah bahwa saya diberi sebuah keberuntungan dimana saya bisa berpikir logis secara humoris. Saya diberi keberuntungan untuk bisa menulis, berbicara, melihat, merasakan, dan mendengar. Satu lagi… bisa bernapas.

Karena tanpa bisa menulis, saya tidak mungkin menghabiskan banyak waktu di depan kompi atau di depan buku untuk mencurahkan semua perasaan saya dan lebih memilih memendamnya sampai overload dan meledak dengan sendirinya seperti gundukan sampah di tempat pembuangan akhir yang kelak suatu saat bisa meledak kapan saja karena reaksi-reaksi kimia yang telah tertimbun penat di dalamnya.

Karena, tanpa bisa berbicara, saya tidak akan bisa menjadi seorang pendidik yang baik. Tidak akan bisa menyampaikan cerita-cerita sarat motivasi dan filosofi, tidak akan bisa menyampaikan pengalaman-pengalaman pahit manis yang pernah saya lalui untuk pembelajaran murid-murid saya nanti.

Merasakan. Ya. Saya hanyalah batu berjalan jika tidak bisa merasakan apapun. Merasakan sedih, senang, marah, cinta, cemburu, menggebu-gebu, semangat, minat, curiga, khawatir, puas, kecewa, ya… bukankah manusia paling bahagialah yang bisa merasakan itu semua? Merasakan semua jenis perasaan yang disediakan Tuhan di dunia. Jadi, apalah arti diri saya tanpa kemampuan untuk dapat merasakan hal-hal tersebut di atas. Saya mungkin akan sedingin es atau sekeras intan berlian.

Mendengar. Ya. Bukankah mendengar adalah hal yang amat besar maknanya pula? Tanpa kemampuan itu, saya tidak mungkin dapat mendengar keluh kesah dan pendapat orang lain. Saya tidak akan pernah mendengar bentakan, teriakan, caci maki, hujatan, atau pujian, sanjungan, dorongan, motivasi, bisikan, dan banyak hal lain. Saya tidak akan pernah bisa mengetahui kritik dan saran dari orang lain tentang bagaimana saya berbicara, bagaimana saya berpakaian, bagaimana saya mengatur sebuah acara, bagaimana saya salah dalam mengetik sebuah proposal dan sebagainya. Mendengarkan adalah salah satu jalan terbaik untuk mengoreksi diri dan mengerti situasi yang sedang dirasakan orang lain baik tentang diri kita maupun keberadaan orang lain di sekitar kita.

Satu lagi. Bernapas. Hal ini mungkin landasan dari segala hal yang paling bermakna dalam hidup saya. Karena tanpa dapat bernapas, saya tidak akan bisa menulis, berbicara, mendengarkan, dan melihat. Karena tanpa diberikan keberuntungan untuk bernapas, mungkin bukan hanya hidup saya yang tidak berarti, tapi nama saya juga tidak akan pernah muncul di dunia ini.

  1. 4. Apa yang bisa saya miliki dan berikan pada orang tercinta?

Yang bisa saya miliki dan berikan pada orang tercinta adalah … cinta itu sendiri. Tanpa harus panjang lebar menjelaskannya, cinta memiliki arti yang terlalu dalam dan subjektif bagi semua orang.  Ya. Dan cinta memiliki relasi integralisasi dengan kesetiaan yang nantinya dapat kita tarik garis ujung pada kebahagiaan. Selesai.

  1. 5. Apa kelebihan dan kekurangan saya?

Kelebihan saya:

–          Humoris

–          Kebetulan cukup bisa menulis

–          Bisa berbicara di depan umum, dengan tanpa terlalu banyak membuang waktu untuk mengatasi nervous

–          Bisa turun snapling dengan bagus dan rapling dengan gaya kepala di bawah

–          Kata orang, dan  sedikit saya akui juga, saya memiliki jiwa seni yang lumayan

–          Kritis

–          Idealis

–          Perfeksionis

–          Berani, termasuk berani berkemah sendiri di tengah hutan dengan hanya berbekal mantel untuk membuat bivak dan sleeping bag, serta sebuah pisau lapangan

–          Imajinatif

–          Inovatif

–          Kreatif, selalu punya banyak cara meskipun kadang menemukan cara yang sama sekali tidak bermanfaat

–          Mempertimbangkan segala sesuatu secara rinci

–          Berpikir dewasa dan sistematis

Kekurangan saya:

–          Selalu mengalami kesulitan dalam menghitung uang

–          Lemah terhadap sesuatu yang terlalu rumit

–          Moody

–          Tidak mudah mengerti perasaan orang lain

–          Terlalu mudah menyimpulkan

–          Ceroboh

–          Pelupa

–          Otoriter

–          Tidak mudah percaya pada orang lain

–          Mengutamakan negative thingking di atas segalanya

–          Egosentris

–          Cerewet

–          Kadang mengatakan hal-hal yang amat menyinggung tapi tidak menyadarinya

–          Boros

–          Mudah berubah pikiran

–          Nyaris selalu melawan atau bertentangan dengan pemimpin

–          Masih belum bisa menulis nota dinas dengan baik

–          Terpancang pada masa lalu

–          Sering bertengkar dengan orang tua untuk hal-hal sepele

  1. 6. Apa yang ingin dan akan saya lakukan?

Idem dengan tujuan hidup saya lah.

  1. 7. Bagaimana komitmen saya untuk mewujudkan keingingan dan rencana tindakan?

Komitmen? Sederhana saja, yakni… jadilah diri sendiri. Enough! Tidak ada komitmen yang bertele-tele di sini.

 

Cobalah jawab pertanyaan2 di atas untuk diri kalian. Siapa tahu dari jawaban itulah, kalian dapat menemukan refleksi yang kelak dapat bermanfaat. Jujurlah serta apa adanya, tidak akan ada yang menyalahkan atau memuji jawaban Anda. Hanya Anda… ya… Hanya Anda yang dapat menjawabnya dengan tepat.

Refleksi ini sangat berguna ketika Anda ingin menentukan suatu pilihan atau menghadapi suatu permasalahan idealisme.

A Moment To Remember

Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga, Kamar Anggrek No.7

Februari, 2010

Memejamkan mata, menahan napas, dan mengerang. Arrrggghh…perih… sakiiiiit… panaaasss… !!! Sesuatu seperti lakban berwarna putih yang menempel di pipi saya yang penuh luka, sedang dikelupas secara-agak-paksa oleh ibu-ibu perawat rumah sakit. Sungguh!!! Baru pernah saya mengerang sampai nyaris menangis seperti anak kecil di iklan kartu GSM ‘Ax*s’ yang gulalinya direbut orang secara paksa. Tapi, bahkan untuk mengeluarkan air mata pun saya terlalu takut, karena bisa mengganggu proses pengambilan perban sialan itu.

Dua hari setelah saya dirawat di rumah sakit karena menderita epilepsi dan rabies (BUKAAANN!!!), maksud saya… karena mengalami kecelakaan, atau lebih tepatnya karena motor saya diserempet oleh motor orang yang sepersekian detik sebelumnya mengalami serempetan juga… (Haduh!). Jadi judulnya adalah serempetan beruntun yang berujung pada saya.

Sekitar sejam lamanya… proses penggantian ‘lakban sialan’, maksud saya, perban di pipi kanan, kepala dan sekujur lengan kanan dan kiri saya dilakukan. Tapi rasanya seperti bertahun-tahun harus memejamkan mata menahan air mata keluar saking perihnya. Ini perban apa lakban si? Luka-luka yang masih basah di sekujur lengan saya pun dibiarkan terbuka oleh si ibu perawat. Dan dengan nada lembut dia pun memberikan suatu nasehat, yang mungkin bagi sebagian orang, hanya didengarkan sambil lalu… tapi bagi saya nasehat itu melekat sampai sekarang.

“De Hafizhah… kalo pengin lukanya cepet sembuh, jangan ditutupi perban terus. Justru perbannya harus dilepas, lukanya dibiarin terbuka sambil nunggu kering. Nantinya bekas luka yang kering itu akan terkelupas sendiri, koq.”

“Bukannya kalo ngga diperban malah lukanya bisa kena air dan jadinya ngga cepet kering, Bu?” sayapun berkilah.

Si ibu perawat tersenyum dan menjawab, “Lebih baik terkena air. Perih sedikit. Daripada ditutup perban, selalu lembab dan ngga cepat sembuh.” Dan dengan senyum terakhirnya dia pun menambahkan “Luka itu … ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi.”

DEGH…!!! Saya menelan ludah. Hati saya mencelos. Mata saya melotot. Mulut saya berbusa (Heh!! Ngga sampe segitunya kali!!). Kenapa? Karena kata-kata itu lebih dalam dari yang seharusnya ditangkap oleh kebanyakan pasien. Karena kata-kata itu, entah kenapa memusing di kepala saya, terulang dan terus terulang… seperti rekaman radio rusak yang terus menerus menyiarkan delapan kata yang sama. “Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi. Luka itu… ngga baik kalo terus menerus ditutup-tutupi…”.

_______

Purbalingga, 27 Mei 2008

Kalau saja tak hilang dulu

Aku pasti masih terjaga

Namun nyatanya kosong kesepian ini

Gaung kehampaan menyelimuti waktuku

Entah…

Napas ini sudah tak lagi milikku sepenuhnya

Biar…

Angan ini mati sesakitnya

Biar, luka ini aku tutup erat dengan perban keabadian

Sampai nanti aku … mati.

_______________

 

Gadis itu menatap jelas lukanya di cermin. Cermin yang hanya bisa ia lihat sendiri bayangannya. Cermin milik hatinya sepenuhnya. Cermin yang telah lama tersembunyi, dan kemudian muncul dari masa lalunya. Cermin yang dulu… memantulkan bayangan tawa, desah kerinduan, atau segala syair-syair puisi yang mengisi kekosongan waktu dan rimbanya. Tapi gadis itu tak pernah terbunuh dalam kekosongan itu. Karena nun jauh di sana, bersama batas waktu… seseorang telah mengikatkan benang merah keemasan yang tersimpul erat di antara kedua cermin mereka. Cermin, yang bayangannya hanya dapat mereka lihat sendiri.

Dan mata kecil sendu itu mengerjap, ketika cermin itu berubah menjadi komidi putar… menampilkan potongan-potongan gambar. Menampilkan potongan-potongan pesan… yang dikenalnya. Yang ditulisnya. Yang ingin sekali disampaikannya kepada seseorang tadi.

Purbalingga, 12 Januari 2008

Saya ingin Anda mengerti, bahwa cinta ini bukan seperti

Simpul laso yang mudah lepas, cuma karena satu tarikan lemah

Tapi seperti simpul turki yang rumit dan indah

Meski sulit dimengerti… jelas, karena tak semua orang memilikinya

Saya ingin Anda memahami, bahwa

Cinta ini adalah seperti Morse.

Yang meski jauh, gelap, dan diam.

Namun semua pesan dapat tersampaikan mudah.

Dengan irama indah dan ketukan merdu.

Saya ingin Anda mengerti, bahwa cinta ini seperti tarian semaphore yang menawan

Atau peta-pita yang rapi

Atau menara yang tinggi… yang tak mudah goyah.

Meski semua orang menguji erat ikatannya.

Tapi…

Saya yakin, dan… saya tahu Anda pun yakin.

Ikatan itu… takkan pernah lepas satupun.

 

Gadis itu memejamkan matanya. Memalingkan muka dari komidi putar yang baru saja menggores hatinya. Yang baru saja menjejalkan ‘pesan usang’ ke dalam ingatannya kembali. Yang baru saja nyaris memeras air matanya. Tapi sebelum itu terjadi, dia telah menang start untuk memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan berlari sejauuh ia bisa. Berlari dari kenangan tentang kejatuhan hatinya. Berlari dari kenangan tentang keterpurukan jiwanya. Berlari dari kenangan buruk tentang janji-janji, tawa-tawa, cinta-cinta, rindu-rindu, dan kasih-kasih.

___________

Aku yang pernah, engkau kuatkan. Aku yang pernah, kau bangkitkan.  Aku yang pernah, kau beri rasa.

Saat kuterjaga. Hingga kuterlelap nanti, selama itu aku akan mengingatmu…

Kapan lagi kutulis untukmu, tulisan-tulisan indahmu yang dulu?

Warna-warnai dunia… puisi terindahku hanya untukmu.

Mungkinkah kaukan kembali lagi, menemaniku menulis lagi.

Kita arungi bersama… puisi terindahku hanya untukmu.

Jikustik-PUISI

___________

Saya tidak merindukan siapapun. Saya tidak menginginkan siapapun. Belum, setidaknya. Saya hanya ingin sembuh. Belajar untuk menjadi biasa. belajar untuk tidak takut ketika sudah sampai ke jalan yang memang seharusnya. Belajar untuk siap menyediakan tempat kosong, yang baru, yang bersih, yang baik, yang nyaman… untuk penghuni terabadi, dan terakhir.

Tapi, sebelum itu semua saya lakukan… saya harus siap untuk membuka perban yang telah lama menutup luka basah ini. Siap untuk menahan sakit luar biasa ketika perban ini terbuka. Siap untuk menerima kenyataan bahwa luka itu sama sekali tidak membaik meskipun bertahun sudah saya sembunyikan.

Tapi, saya tidak akan membiarkan luka itu terlalu lama tertutup. Saya akan melaksanakan nasehat dari ibu perawat kesehatan. “Luka itu… tidak baik kalau terus menerus ditutup-tutupi”.

Semarang, 28 Agustus 2010

There is An Invicible Message Below, Can You Find It?

Ini mungkin. Sedikit mungkin. Sedikit kukenal.

Napas ini mirip. Sedikit mirip tapi menyesakkan.

Fase yang sering aku lewati dan terlewatkan.

Antara apakah, ataukah, bisakah, dan mungkinkah?

Nada-nada dan bisikan yang membuat hati rapuh ini mencelos.

Tentang kutukannya terhadap waktu dan penantian.

Erangan masa lalu…

Robekan-robekan hati seorang gadis kecil.

Intinya adalah dia ingin sembuh. Tapi… entahlah…!!

Seandainya rasa adalah penggorengan yang mudah dipanaskan, tapi …

Itu berarti bullshit!

Berarti penghormatan padanya sebatas lumpur dan arang.

Andai, dan lagi – lagi berandai…

Rasa ini lebih kokoh dari menara candi.

Empat arah mata angin yang dipaksa menjadi saksi.

Tuhan… mungkin akan mengutus malaikat untuk menaburkan kertas warna-warni.

Hari ini, dan esok warna-warni… dan esoknya lagi warna-warni.

Ih! Kolot sekali! Kekanak-kanakkan… Sudahlah!!!

Jarum detik pada jam rusak saja yang jadi wali

Antara apakah ini mungkin abadi atau dilupakan.

Untuknya… yang dikontrak mati.

Winners vs Loosers

The Winner says,”It may be difficult but it is possible”
The Loser says ,”It may be possible but it is too difficult”

When a Winner make a mistake, he says ,”I was wrong”
When a Loser make a mistake, he says ,”It wasn’t my fault”

The Winner is always part of the answer
The Loser is always part of the problem

Winner chooses what they say
Loser say what they chooses

The Winner sees an answer for every problem
The Loser sees a problem for every answer

Winner sees the gain
Loser sees the pain

The Winner says ,”Let me do it for you”
The Loser says ,”That’s not my job”

Winners believe in win win
Loser believe win for them and someone has to lose

A winner makes commitments
A Loser makes promises

Winner sees the potential
Loser sees the past

Winner makes it happen
Loser wait it happen

A winner creates vision
A Loser creates imagination

A winner says “I am doing it”
A Loser says “I’ll do it”

Pengorbanan dan Doa; Apakah Keduanya Hanya Sia-Sia Belaka??

Mungkin jika saya masih seegois dan sekekanak-kanakkan dulu, saia pasti sudah memaki Tuhan dan mencaci ‘Apa gunanya doa? Apa gunanya pengorbanan? Semua itu bullshit!!’, tapi kebetulan saya sudah (sedikit) dewasa dan lebih memilih untuk memaknai kegagalan ini dengan 3 gelas kopi dan sebuah perenungan.
Ya.
Pada Selasa, 29 Juni 2010 saya tidak melihat nomor 1000707 alias nomor peserta saya di daftar peserta yang lolos Psikotes SPMB STSN.
Menyebalkan?
Tidak.
Tidak menyebalkan.
Ini hanya sebagian kecil dari drama penempaan diri pribadi saya. Hanya sebagian kecil dari batu-batu tajam dari sekian banyak batu yang lebih tajam yang akan dan harus saya lalui. Hanya sebuah momentum loncatan, untuk sampai ke pulau tujuan puncak saya. Hanya sebuah waktu transisi bagi diri saya untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, entah menjadi kupu-kupu Biston Betularia putih yang akan termakan imbas Revolusi Industri Inggris atau Biston Betularia hitam yang akan bertahan di tengah seleksi alam.
Tapi, setabah apapun saya (sebenarnya saya bukan orang yang tabah), saya tetap merasa kecewa terhadap diri saya dan … -lebih tepatnya- bertanya2 kenapa, kenapa, kenapa doa saya tidak Dia kabulkan?
Padahal saya sudah melaksanakan anjuran untuk (maaf bukan bermaksud riya’, sungguh!!) shalat Hajat tiap malam, melafalkan Asmaul Husna yang sekiranya memudahkan terkabulnya permintaan, dan puasa-puasa sunnah yang semata-mata Lillahi ta’ala untuk doa serius ini. Bahkan Ibu dan Budhe saya pun tidak pernah absent untuk ‘memuja-muji’ yang sedemikian itu, malah puasa mereka tidak pernah bolong dan shalatnya lebih ‘banter’ daripada saya.
Kalo tidak salah saya pernah mendengar bahwa “Tuhan bilang doa ibu itu pasti akan Ia kabulkan?”
Halooo… saya sendiri melihat dengan mata kepala saya bahwa ibu mendoakan saya masuk STSN sampai berlinang air mata. Tiap malam beliau mendirikan shalat Lail dan Hajat, tiap selesai Shubuh beliau berdzikir tiada henti sampai matahari benar-benar terbit dan terang benderang.
Bukankah HR. Bukhori Muslim sendiri menyebutkan (ceilaa…maen hadist):
“Maka berkata Nabi Muhammad saw. bahwa Allah SWT. Setiap malam turun ke langit dunia, yaitu pada sepertiga malam terakhir, dan berfirman ‘Azza Wajalla: Barangsiapa yang berdoa kepadaKu akan Kukabulkan, siapa yang meminta akan Kuberi dan siapa yang memohon ampun akan Kuampuni.”
So… my Mother and I did it !! But why? Hasilnya adalah kita tidak mendapat keajaiban apa-apa.
Padahal kurang apa coba???
Sembronokah bertanya demikian? Lancangkah? Kurang ajarkah? Saya berhak bertanya kenapa doa-doa saya tidak Dia kabulkan, bukan? Bukankah pada hadist itu sudah jelas? Daripada meragukan hadist, mending saya bertanya kenapa… apa yang salah dari doa saya? Toh (sepengetahuan saya) saya tidak pernah berbuat maksiat yang kebangeten malah (kayaknya)sebaliknya yakni… bla-bla-bla (kalo saya njelasin lebih panjang, takut riya’ jadi ditebak2 saja ya…!!!)

Flasback ke masa-masa Tahap Psikotes kemarin.
Hemmm… masa-masa paling gila dalam sejarah hidup saya. Ketika kabar baik tanggal 14 Juni pengumuman Tes Tertulis (Tahap 1) saya ditakdirkan (kebetulan sekali banget) lolos, dan kabar buruknya tanggal 15 dan 16 harus sudah menyerahkan berkas-berkas syarat pendaftaran langsung ke Bogor (NB: tanggal 16 saya ikut SNMPTN di Purwokerto jadi terpaksa tanggal 15 saya sudah harus berangkat ke Bogor biar bisa tetep ikut SNMPTN besok harinya). Padahal, kabar lebih buruknya lagi, tanggal 14 malem saya baru dapet kabar kalo saya lolos, jadi notabenenya, saya harus ngebut dapet bus jurusan Jakarta/Bogor malem itu juga supaya pagi tanggal 15nya saya sudah berada di Kampus STSN untuk menyerahkan berkas (sampe sini mudeng? Kalo belum mudeng, silahkan baca lagi sampe mudeng. Kalo masih belum mudeng juga, emmm… I have no solution!!)
Biar lebih mudeng:
Senin, 14 Juni 2010 : jam 7 malem liat pengumuman tes tertulis dan saia lolos
Padahal,
Selasa, 15 Juni 2010 : saia harus menyerahkan berkas2 pendaftaran ke Bogor

Notabene: Purbalingga-Bogor ditempuh dengan waktu 12 jam perjalanan!!!!!
Malem itu juga saya ngebut cari bus sampe terminal Purwokerto karena di terminal Purbalingga, busnya penghianat semua!!! (soalnya ninggalin anak cute semata wayang yang terlunta-lunta bingung cari transport siii… :P). Sampai jam sepuluh malem di Pewete saya baru dapet Bus namanya ‘Sumber Al*m’ yang notabene suka mogok dan dapet jatahnya kelas ‘ekonomi’ pula.
Grrrrrr… bengkak, bengkak deh nih kaki… satu lagi!!! Jurusannya ke ‘Pulo Gadung’, ntu jaoh banget dari Bogor kan?
Hemm… tapi daripada tidak mendapatkan bus, mau bagaimana lagi? Naek odong-odong?
Eladala… di tengah jalan saya baru sadar kalo KTP saya ketinggalan. Padahal di Kampus STSN wajib membawa kartu identitas yang nomornya dicantumkan di kartu peserta, dan saya memillih untuk mencantumkan nomor KTP, kesimpulannya adalah saya tidak bisa masuk Kampus STSN tanpa membawa KTP soalnya itu satu-satunya tanda bukti kalo nama saya ‘Hafizhah Lukitasari Torres Bambang Yudhoyono’ (ngarang) adalah KTP itu. Jegggeeerrr!!!!
Saya pun dengan penuh ‘ngapunten’ menilpun Bapak dan menanyakan apakah KTP saya masih ada di kamar atau raib entah kemana (jane si wis yakin KTPne neng kamar, anu nggo basa-basi bae). Akhirnya apa coba? Setelah terbukti KTP itu masih utuh berkilau di sela-sela bebukuan kamar saya yang tidak ubahnya seperti gundukan sampah di tempat-pembuangan-paling-akhir, beliau memutuskan untuk mengantarkannya langsung ke Pulo Gadung alias tempat saya turun dari bus, karena eh karena tidak mungkin mengejar bus saya setelah 2 jam perjalanan.
Selain karena KTP yang jadi jaminan ‘karcis masuk’ kampus STSN ketinggalan, ibu saya juga sebenarnya sangat mengkhawatirkan saya pergi ngebus sendirian malem-malem turunnya di Pulo Gadung (yang notabene terminal Jakarta paling rawan) pula. Eh, kebeneran KTP ketinggalan jadi ada alas an untuk nyusul dan memastikan saya selamat di Pulo Gadung tidak kurang suatu apa. Dan benar saja, esok paginya saya sampai di Pulo Gadung tepatnya langsung ngacir ke Pos Polisi (biar aman, takutnya ditaksir preman terminal. Yha kalo premannya secakep Joe Jonas atau Justin Bieber si ngga papa*emang ada preman seimut itu?dong!dong!*), sambil menunggu orang tua nyusul, saya diceritain sama Bapak Polisinya kalo tadi malem baru aja ada laporan pemerkosaan di Pulo Gadung (Ngek?) jadi saya kudu hati-hati dan jaga benda-benda yang berharga seperti kotak makanan, plastik isi cemilan … (Bukan Etoh!!!).
Akhirnya setelah menunggu satu setengah jam ibu, bapak, adik-adik saya, dan dua kakak sepupu saya (jadi sopir bergantian gitu…) datang, dan kami pun OTW ke Bogor dengan perut keroncongan karena semaleman belum makan.
Dan tragisnya, di Bogor kita sampe jam 11 siang, saya langsung mandi di tempat kos-kosannya Bu Erni dan cabut ke Kampus menyerahkan berkas. Sementara itu, sanak keluarga saya yang rela-rela mbolos kerja, kuliah dan sekolah demi mengantarkan selembar kertas berukuran ±12x8cm named Key-Ti-Phi alias KTP ke Bogor pun beristirahat di tempatnya Bu Erni. Tapi, karena esok paginya saya sudah harus berada di Purwokerto untuk ikut SNMPTN, jadi jam 2 siang kita langsung take off (gayane!!) ke Purbalingga lagi. Jiaaann… bener2 ke Bogor cuma buat numpang capek doang. ITU PENGORBANAN NAMANYA!!!! Belum duit buat bensin udah ngga keitung banyaknya. Sekali lagi ITU PENGORBANAN NAMANYA!!!!
Tapi… nyatanya pengorbanan itu mungkin tidak berharga di mataNYA. Doa-doa yang kami panjatkan pun mungkin tidak didengar olehNYA. Kenapa? Cuma DIA yang tahu jawaban dari semua ini.
Hem… padahal kalo diinget-inget, waktu ke Bogor Ibu bawa 10 kg gula merah asli buat dikasih ke Bu Erni, trus sama Bu Erni dibagi-bagikan ke tetangga-tetangga sekitar sambil dimintai doanya buat saya. Selain itu saya juga ‘mbela-mbelani’ ke Buper waktu ada hajatan Lomba Tingkat 3, demi meminta doa dari guru-guru almamater SMP dan adik-adik peserta LT3 serta para panitia LT3 yang notabene adalah para Pembina dan Andalan.
Bukankah itu yang disebut doa bersama?
Bukankah (kalo tidak salah saya pernah dengar) doa bersama akan mudah dikabulkan?

SEKARANG APA SALAH DARI SEMUA DOA DAN PENGORBANAN INI, HAH??

*tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. GUBRAK!!dobel!! GUBRAK LAGI!!!*
Hfiuuhh… ya sudah lah. Apa mau dikata? Sekarang saya malah jadi sering mengatakan pada diri saya sendiri kalimat yang dulunya paling saya benci dalam kegagalan “Mungkin belum saatnya… Masih ada kesempatan lagi, kok… Tuhan pasti memberikan yang terbaik kok… dan blablabla…”
Finally, saya bersyukur sudah pernah mengenal STSN. Meskipun hanya menjadi bagian kecil yang tidak berarti sama sekali di sana. Tapi, beruntung dapat memasuki ‘Bumi Sanapati’ lebih dari sekali dan melihat kakak2 kelas yang keren-keren dan ramah-ramah (buat Mas-Mas STSN cakep yang pernah nyapa saia, haduduh, saia minta maaf bukannya saia cuek tapi ngga sadar kalo ternyata lagi disapa jadinya nyahutnya telat. Hadu, sori banget dah!). Mungkin tahun ini simbol cabe merah dan bulu putih itu tidak bisa terpasang gagah di pundak kanan dan kiri saya seperti TKU Laksana, tapi setidaknya perjuangan untuk mendapatkannya (meski gagal) telah memperkaya diri saya.
Hemmm… sekali lagi saya sangat bersyukur bisa lolos sampai Tahap 3 STSN, menyisihkan ribuan pendaftar sampai tinggal 400 orang. Kata ibu : “Itu sudah merupakan keberuntungan yang harus disyukuri.” Meskipun belum bisa menjadi contoh yang baik dan motivasi buat adik2 saya setidaknya…

Dari SPMB STSN…
Saya belajar untuk lebih mendekatkan diri padaNya. Saya belajar untuk memahami apa arti sebuah doa. Yang dulunya mungkin, saya ini hanyalah pecandu waktu yang tak tahu mana ibadah yang benar dan mana ibadah yang salah. Sekarang saya sadar kalo shalat itu penting, bukan yang penting shalat (Harusnya dari dooloo sadarnya!!!). Hahaha…
Dari SPMB STSN…
Saya mengenal banyak teman-teman dari berbagai kota. Ada yang dari Bekasi, Sukabumi, Tasikmalaya, Jakarta, Lampung, Palu, Semarang, Nganjuk, dan masih banyak lagi. Berada bersama mereka dalam satu tempat kos, meskipun baru beberapa hari rasanya sudah seperti teman lama. Hahaha…
Dari SPMB STSN…
Saya mengenal banyak orang-orang hebat. Bu Erni, ibu kos saya ketika di Bogor, meskipun mungkin di mata orang-orang, beliau hanya seorang janda biasa dengan dua orang anak dan hidup sederhana, tapi tidak di mata saya. Beliau orang hebat!! Kenapa? Dia suka menolong, tidak peduli itu orang yang dia kenal dekat atau bukan. Buktinya, tahun lalu seorang peserta SPMB STSN yang akan mengikuti Tes Kesehatan meminta tolong untuk dicarikan dokter gigi karena giginya berlubang dan harus ditambal untuk dapat lolos Tes tersebut. Akhirnya, oleh Bu Erni, dia diantarkan keliling Pasar Parung sambil mencari-cari dimana ada dokter gigi. Selain itu, tahun ini, ada anak yang terdesak jadwal harus segera ke Malang esok hari seusai Psikotes STSN, akhirnya oleh Bu Erni (padahal bukan anak kosannya) diantarkan jauh-jauh ke Pasar Parung mencari agen tiket pesawat terbang. Bahkan yang membuat saya terharu, dia menyempatkan berpuasa Rajab bersama anaknya untuk mendoakan agar saya lolos STSN. Hiks… terima kasih, Bu. Dan masih banyak lagi kebaikannya yang kalau diceritakan sama saja kalian harus membayar kepada saya royalti pembuatan novel ‘true story’.
Orang hebat kedua adalah Mas Reno. Saya tidak pernah bertemu langsung dengannya tapi saya banyak belajar darinya. Siapa dia? Dia adalah Mahasiswa STSN angkatan 2009. Dulunya ngekos di tempat Bu Erni juga dan Bu Erni pula yang bercerita banyak tentang Mas Reno. Dia anak terakhir dari (lupa) bersaudara. Dia rajin belajar, shalat, rendah hati dan benar2 berniat masuk STSN. Ketika psikotes STSN, teman-temannya banyak yang tidak membawa bekal (padahal psikotes STSN adalah psikotes yang dapat disamapresepsikan dengan berpuasa selama 7 hari 7 malam *lebay*alias soal-soalnya bikin perut keroncongan seperempat mati), padahal Mas Reno cuma membawa bekal roti yang tidak seberapa, tapi tetap dia bagikan kepada teman-temannya ketika jam istirahat.
Kemudian, ketika Mas Reno sudah lolos menjadi Mahasiswa, ibunya pun datang ke kompleks rumah Bu Erni yang notabene merupakan pemukiman penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Dan apa yang ibunda Mas Reno lakukan? Beliau membagikan uang kepada anak-anak yang ada di situ. Semuanya tanpa terkecuali. Dan dengan kebaikan dan sikap leadershipnya, Mas Reno pun ditunjuk sebagai ketua OSPEK untuk angkatannya. Dan pada setiap akan menghadapi ujian, Mas Reno mewakili teman-teman angkatan 2009 membagikan sodaqoh kepada anak-anak yatim di pemukiman sekitar dan hanya meminta imbalan berupa doa agar angkatannya dapat lulus ujian semua. Selain itu, ketika peresmiannya sebagai Mahasiswa STSN, Mas Reno juga meminta Bu Erni hadir padahal yang diperbolehkan hanya ayah dan ibu (NB: ayah dan ibu Mas Reno masih ada). Tapi Mas Reno bersikeras mengundang Bu Erni sebagai ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah menjadi Ibu selama masa SPMB STSN dan OSPEK. Padahal Bu Erni bukan siapa-siapa Mas Reno dan tidak pula memiliki hubungan darah semililiter tetespun.
Subhanallah… bersyukurlah Ibu dengan anak sebaik itu.
SPMB STSN juga berhasil meredam minat saya untuk terjun ke Perkemahan Wirakarya Cabang yang dilaksanakan di pertengahan masa-masa SPMB STSN. Padahal saya sudah sangat kebelet pengin kemah lagi setelah sekian lama terjerumus dalam jurang persiapan Ujian Nasional dan hiruk pikuk tes masuk perguruan tinggi. Tapi, ya… saya belajar bersabar dan meredam rasa iri melihat teman-teman DKC Purbalingga nun jauh di bukit Rembang (ceila…) dan saya ‘jumeneng’ dipingit di desa Pekalongan. (Ngik! Nguk!)
Ya.
SPMB STSN mengajarkan saya ‘terlalu’ banyak hal…
Tentang kehidupan …
Tentang perjuangan…
Tentang pengorbanan…
Tentang arti kemenangan …
Dan,
Tentang arti kegagalan…

SPMB STSN 2011…. I AM GOING TO FIGHT AGAIN !!!!!
Theme song : Samina mina, waka waka eh eh samina mina waka This isn’t time for me. (Jhahahaha…. :D) Maybe next year. Amien…

NB: Eriz sama Yudha kalo nanti lolos jadi Mahasiswa STSN, taon depan saia jangan dikerjai ya!! Awaz, loh!!! Kalo bisa malah pas Psikotes dibantu ngitung deret Paulinya sambil pura-puranya lagi bentak2. Hahai^_^
Wish You Aaaaaaaaaall The Best.
Lanjutkan Perjuangan!!!!
(perjuangan saia sampe sini dulu coz mau nonton Portugal vs Spanyol… =D)

Ditulis 4 jam 47 menit setelah pengumuman Psikotes SPMB STSN 2010
Oleh:
Saya
(Hafizhah Lukitasari-Srikandhi Ing Sanapati) Amien…

You make me crowded by your overprotection side!!!

First time, I heard your name…
That’s the ordinary feel.

Second time, I saw your pitcure…
That’s still the ordinary feel.

Third, I met you…
That’s unforgetable time.

Next, I touched your hands…
That’s my favourite part.

Next, I talk with you
Then, You look me in the eyes when I did same
I think I couldn’t breath at the time.
I think I couldn’t feel the ground.
I think I didn’t need the oxygen again.

Just your eyes that I need.
Just you and I.

At last,you leave me
Say the sweetest ‘goodbye’
make me singing a sad story about our first meeting.

Your overprotection side make us break.

But I confused??Who’re you??

Why did you make me crowded?Why did you make me feel alone without…

You’re eyes…
You’re smile…

Why?
Why?
Why?
Why did you make me crying?
You…
You…
Just you…

Ujian Nasional: Noda Pendidikan Kebanggaan Nuh

Muhammad Nuh.

Rangkaian dua nama Nabi ini bukanlah seorang penjagal, pembunuh, bukan pula perampok. Saya yakin membawa bedil saja si Tua ini gemetar ketakutan, jangan tertipu aura mistis intelek dari matanya. Tapi, tanpa si Tua ini sadari, semua omong kosongnya tentang ujung jalan pendidikan menengah (baca:ujian nasional) telah membunuh ribuan, puluh ribuan, atau ratus ribuan (kurang hiperbolis), okeh…jutaan hati generasi2 pelajar berkemejaputih yang konon kabarnya disebut generasi muda yang amat ia banggakan.

Saya peserta UAN 2010 (no. peserta 10-007-059-6, bisa dicek di lotre setempat), tapi saya tidak mau bersusah payah untuk bersikap munafik dengan berpura2 tidak jijik melihat naskah soal2 UAN yang ‘kotor’, ternoda, sudah tidak perawan dan memuakkan. Bagaimana tidak? Berapa ratus pihak sudah, yang telah membeli soal2 itu di ruang gelap dari orang yang serba gelap yang mengatasnamakan diri OKNUM pengaman distribusi kertas soal UAN yang sok gagah dan sok penting.

Desas-desus dari kuping miring saya mendengar bahwa 1 soal UAN dijual seharga 2 juta sampai 4 juta rupiah, atau bahkan lebih (Bisa nggo tuku mendoan se-truk,agagag). Padahal itu cuma kertas biasa yang kalo dibeli di kantin kejujuran cuma seharga 200 perak, bisa gratis malah… hahaha

Kalo sudah seperti itu, saya sarankan kepada tukang bahasa yang dulu berkoar2 “Kejujuran itu mahal harganya” sekarang harus rela menyunting buku ‘Pintar Berbahasa Indonesia’ di seluruh Tanah Air, mengganti kata itu dengan istilah “Kebohongan itu mahal harganya, sekitar 2-4 juta”. Pak Bahasa dan Bu Bahasa mungkin selama ini salah paham dengan konsep kebohongan dan kejujuran. Buktinya kalo siswa yang jujur mengikuti UAN mereka tidak perlu merogoh kocek sebesar itu bukan??

Saya peserta UAN 2010 dan selama pelaksanaan UAN, saya ngambek dengan hape butut 3230 kesayangan. Pasalnya setiap hari inbox saya hanya dipenuhi sms dari teman2 SMA lain yang pertama2 basa-basi tapi ujung2nya menanyakan tentang bocoran soal, atau menanyakan apakah saya membawa hape ketika ujian berlangsung, atau menawarkan berbagai kerjasama dan berbagai bisnis2 lain yang membuat saya kesal dan hape saya yang sudah sepuh itu pun jadi tumbal.

Sebenarnya saya ingin memotivasi mereka, untuk belajar sendiri saja, kalaupun kepepet baru nyontek, eh tapi kok kesannya terlalu pro Muhammad Nuh yang konon kabarnya ingin pelaksanaan UN sebersih mungkin.(Nonsense!! Mimpi kali yee…). Dan habisnya si kantong pulsa alias pulsarangium, membuat saya sedikit beruntung untuk tidak sulit2 mencari alasan kenapa sms dari teman2 saya tidak saya balas.

Pak Nuh…Pak Nuh… Saya kasihan sama Anda, Pak. Sudah botak, gendut, dan pusing2 memikirkan pelaksanaan UAN, tapi masih saja banyak kecurangan2 yang bahkan dilakukan oleh kaun intelek2 Anda bahkan di depan hidung besar Anda sendiri. Yooo… salahmu dhewek to, Brader. Sudah barang kebeneran ada tuntutan wali murid untuk menghapuskan UAN malah sampe ke Mahkamah Agung. Eh, dikau ngeyel saja dan dengan merengek2 meminta memenangkan tuntutan sebaliknya,trus dengan mulut penuh busa, tangan dikacak pinggang dan satu kaki di atas kursi seakan Anda menyampaikan kalau “UAN tetap harus dilaksanakan karena satu2nya standar untuk mengetahui keberhasilan pendidikan secara nasional”. Oooo… Mbahmu!!

Yang kamu maksud standar itu apa to, Pak? Keberhasilan dalam membeli soal2 secara tersembunyi? Keberhasilan untuk menyebarkan kunci jawaban, kemudian membawanya ke dalam kelas tanpa ketahuan pengawas? Keberhasilan untuk mengelabuhi pengawas saat kita mencocokkan jawaban UAN satu sama lain? Itu, kan, definisi keberhasilan yang Anda maksud tapi terlalu DIMANJA dan DIPERMAK dengan bungkus yang terlalu ber-prestise dan terhormat? Dan terbukti! Mereka berhasil!! Keberhasilan dan kebobrokan moral itu adalah anak kembar dambaanmu, to?

Saya peserta UAN 2010 dan saya tidak menyalahkan mereka yang bertindak curang dalam UAN. Saya tahu, saya paham, karena overlapnya kepanikan pra-UAN (yang selalu ditutup2i dengan konyol oleh seluruh sekolah) sudah sejak lama mengatmosfir di masing2 institusi pendidikan dan membuat mereka skeptis terhadap diri sendiri ditambah tuntutan sekolah yang lapar penghargaan dan selalu ingin nilai rata2 terbaik dan terbaik membuat mereka melakukan cara ‘apapun’ untuk memenuhi ngidamnya bapak/ibu guru.

Nah, Tuan Muhammad Nuh yang terhormat, pengin tidak ada kecurangan2 seperti itu lagi? Mudah. Hapuskan UAN … dan …

selesai.

Bersih.

Cling, cling,

Tidak ada UAN, saya yakin tidak ada kecurangan. Karena kecurangan dan UAN sudah seperti kakak adik yang beda rupa tapi tetap dari satu darah yang sama, sudah seperti polimer dan monomer, sudah seperti reaksi kimia setimbang yang satu ada karena yang lain ada, sudah seperti ular yang menggigit ekornya, tidak ada akhir dan tidak ada awal. Kecurangan dan UAN sudah seperti dunia gaib dan dunia nyata, berjalan beriringan tapi yang satu bersembunyi tak kasat mata. Sudah seperti hujan dan hutan, aku ada karena kau telah tercipta (Ooo… lagune Seila On Seven ini anu buat ngritik UAN, to? Hahay)

Masih pengin melaksanakan UAN? Berarti orang paling tidak punya kerjaan kalau beg,beg,begitu. Sadar atau tidak, kebijakan Anda (yang sama sekali tidak bijak) telah meyengsarakan banyak pihak baik secara harfiah maupun kias, baik secara kolektif maupun individu, intinya BANYAK, termasuk saya—sebutir pasir di tengah padang pasir yang luas. Semua itu mbok jadi dosa, Pak. Tobat… Tobat… memangnya kalo setiap tahun mau nambah dosa jadi segunung, itu semua mau dibawa kemana? Pasar Segamas? Diloakkan?

Pak Nuh, Anda orang cerdas (saya yakin!), kalau begitu Anda pasti bisa berpikir. Buktikan kalau SBY memanggil Anda bukan buat jadi penerus penanggung kebudayaan dosa pendidikan semata. Jadi tolong berpikirlah! Gunakan kecerdasan Anda! Gunakan …. HATI Anda! Saya yakin Anda bisa mencari solusi polemik UAN yang sudah mengakar, mejamur dan berlumut ini. Jangan malas menggunakan intuisi. Contohlah orang tua yang siang malam mendoakan anak2 mereka sampai mata sembab hanya agar anak mereka lulus UAN Anda.

Jangan sampai—atau sudah malah—moralitas anak bangsa rusak justru karena ujian intelektual mereka sendiri. Tolong garis bawahi kata2 ini.

Salam damai, Pak Nuh. Semoga Anda bisa mempertimbangkan mana yang lebih baik. Menanggung dosa atau belajar sedikit berpikir. Ini semua demi generasi muda yang -katanya-Anda banggakan.

28-03-2010
by:Hafizhah eL.

Jangan!! Jangan Sampai!!!

Saya ingat salah 1 status fesbuk yang menyatakan “Sidang Paripurna DPR kalah sama Sidang Paripurna Pramuka Penegak dan Pandega”. Absolutely like this.

Saya tidak paham benar apa itu kasus Bank Century, tidak mau tau apa itu Pansus, apalagi tentang pemakzulan Presiden. Saya orang awam yang malas untuk mengamati urusan politik kemudian sok bersikap kritis seakan kita ini orang yang tau semuanya. Tapi, ketika secara tidak sengaja saya melihat kericuhan pada Rapat Paripurna DPR mengenai hak angket kasus Century, saya benar2 merasa terhibur dan … kecewa(Mbok ya kalo ikut rapat paripurna jangan bawa anak TK, tho…). Saya merasa tindakan para anggota legislatif yang kami huoormati dan para wakil2 partai yang kami buuangguakan seakan2 menelanjangi diri mereka sendiri dan berjalan di tengah alun2 kota pada malam tahun baru (Apa ora nyadar ana kamera neng endi-endi? Tek kira ya wis kuliah ngasi sarjana malahan ana sing ngasi doctor, kok ya sikape ora beda karo preman terminal<edit:not for all,oknum only>).

Saya yakin dunia internasional mencatat berita luar biasa lucu ini. Mereka pasti terpingkal2 ketika melihat pemimpin&wakil rakyat ribut di ruang sidang seperti ibu2 pasar yang ngga mau ketinggalan obral gratis, benar2 seperti Reality Show bergenre komedi yang mungkin bisa melebihi rating tayangan sejenis Laptop si Unyil, si Bolang, atau bahkan Upin Ipin. Wah saya malah khawatir setelah tayangan itu dilihat mata dunia, nantinya mereka yang ribut2 itu bakal dikontrak buat jadi pemain utama di cartoon Walt Disney, US.

Eh, betewe setelah menyaksikan kejadian yang patut diacungi jempol-yang-banyak-panu&kutu-air itu, saya jadi kecanduan baca koran terutama rubrik yang memuat artikel2 tentang si Century itu, yaa meskipun tidak lebih sering daripada baca majalah Bobo atau Neka si Anak Cerdas, tapi saya tetap kagum dengan kemampuan saya melahap 3 artikel sekaligus di koran Suara Merdeka, 6 Maret 2010.

Tapi anu emang dasar saya ini manusia-tak-bermodal-tapi-masih-lumayan-bermoral, si Koran yang saya baca itu bukan karena saya beli. Tapi kebeneran lagi njenguk Bulik yang abis nglairin di RSB.Nugroho, eh, tiba2 sebuah koran muncul dan mengedipkan mata menggoda (ting*ting* mode on). Pertama saya tertarik juga bukan karena lirikan maut atau berita utama di koran, tapi foto Presiden SBY bersama salah seorang anggota DPR. Menariknya, SBY tuh keliatan putih banget tidak seperti orang berumur, terus bibirnya merah banget kaya pake lipstik. Nah…itulah alasan saya pengin baca koran itu, kwkwkwk…

Ada 3 artikel yang menarik.

Pertama, berita tentang data kekayaan SBY dan Boediono (aja takon judule!kelalen) pada tahun 2010. Di situ dijelaskan bahwa kekayaan SBY membengkak 1 Milyar dan Boediono 6 Milyar dibanding tahun lalu. Tapi, yang menarik bagi saya ntu bukan pembengkakan kekayaan mereka, tapi data kekayaan SBY menyebutkan kalo dia punya mobil “Range Rover Sport”. Whow!!! Itu menunjukkan SBY punya selera bagus dalam memilih mobil. Saya sangat ngepens dengan mobil termewah ini, soale bisa dibawa ngetrack ke hutan tanpa kepater apalagi mogok(tapi ya tetep bae eman2 angger kegesrek wit2an. Kan cet mobil regane lewih larang daripada batagor, betul tidak??). Wah enaknya kalo jadi menantunya SBY, minimal bisa pinjem mobil itu kalo mau main repling ke Serang, kwkwkwkwk…

Kedua, tentang perbedaan pendapat adiknya Gusdur dengan partai yang menaunginya sendiri yaitu PKB (jen, aku kelalen jenenge adine Gusdur koh. Temenan!). Dhewekan, jen temenanan beda dhewek pendapate karo anggota PKB liane. Dia berani!! Saya acungi jempol, kali ini jempol bersih berkuku putih kinclong dan mengkilap, wangi…pisan. Dia menganggap kebijakan Boediono untuk melakukan penyelematan terhadap Bank Century dengan mengambil resiko kehilangan 6 Triliun lebih itu benar. Saya salut! Saya bangga terhadap beliau. Tidak takut suara mayoritas, mengeluarkan pendapat sejujur2nya tanpa beban, benar2 mencerminkan keluarga Wahid, ceilaaa…

Yang ketiga, bukan berita melainkan artikel. Kalo artikel ini ditulis dipesbuk, saya passsti orang pertama yang me-like-nya. Kiye lha aku kemutan judule “Haruskah Boediono dan Sri Mulyani…”. Si penulis menyatakan bahwa apa yang terjadi di kursi DPR dan partai2 koalisi adalah semata drama untuk memojokkan Boediono dan Sri Mulyani untuk turun jabatan sehingga perombakan jabatan dan reshuffle menteri dapat segera dilaksanakan dan dengan begitu banyak kursi kosong yang siap dihidangkan. Selain itu, Boediono dan Sri Mulyani merupakan salah dua ujung tombak pemerintahan SBY, jadi kalo mereka turun, kedudukan SBY tidak akan sekuat dulu lagi dan mudah sekali digerogoti tikus-tikus berjas rapi dan bermodis parlente yang haus jabatan itu. Menurut saya, dia juga menganggap para peserta sidang paripurna sudah tidak murni lagi memperjuangkan hak rakyat, tapi juga diselipi dengan perjuangan mendapatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan segelintir kelompok saja. Jelas terbukti dari tindakan anarkis mereka ketika sidang dilaksanakan.

Finally, I conclude that, meskipun saya tidak mengerti secara rinci kasus Century, entah berdasar alasan apa, dan entah kenapa, naluri saya kuat berkata “Tidak benar jika Boediono dan Sri Mulyani harus mundur dari jabatan mereka sekarang. Saya mendukung langkah Boediono dan Sri Mulyani untuk bertanggung jawab terhadap kebijakan mereka dengan meneruskan tugas mereka bukannya menanggalkan jabatan begitu saja.” Ini bukan pendapat yang berdasarkan intelektualitas, fakta, ataupun dasar kuat (saya tidak ingin dianggap sebagai golongan politis yang bersikap kritis. Matur nuwun lah ya, mbok dadi sariawanen sewulan ora mari2 angger disebut kaya kue,hahaha!!). Pendapat saya ini bersumber dari hati nurani, tapi dengan keyakinan kuat. Sangat kuat.

NB: Teman2, kita harus bangga terhadap kedua putra bangsa itu. Apalagi Sri Mulyani memasuki urutan ke 74 dari 100 perempuan paling berpengaruh di dunia, berarti dunia internasional sudah mengakui kehebatan beliau, bukan? Jangan mudah memandang seseorang dari satu atau dua kesalahannya saja tanpa mempertimbangkan apa yang sudah mereka berikan kepada Negara kita. Mbok kaya Habibi, loh. Wis dusir2 sekang Indonesia, eh, siki rakyat Indonesia pada nyesel, mbok? Yang katanya “ Coba kalo dulu ngga ngusir Habibi, pasti sekarang industri pesawat terbang Indonesia dan Teknologi Informatika maju.” Lah, preeeettt lah!!!! Jangan sampai kita jadi orang yang plin plan, jarkoni, suka mau untungnya sendiri, angger lagi butuh eman tapi angger wis ora butuh dibuang padahal langka jaminan dhewek bener2 ora butuh maning kapan2 mbok? Jangan sampai kita kehilangan ‘buah tangan dan pikiran’ tokoh2 seperti Habibi lagi. Jangan!! Jangan!!

Sunday, March 7th 2010
Ditoelis oleh: Hafizhah eL.

Realita Nista Try Out

PURBALINGGA-Menurut berita yang agak akurat, lebay dan kurang dapat dipercaya—Seputar Facebook Minggu, 17 Januari 2010—mengatakan bahwa angin lisus, putting beliyung, topam, badai, dkk menyapu pusat Kabupaten Purbalingga yakni sepanjang jalur Padamara terus ke timur, ada perempatan terus lurus ke Jalan MT. Haryono terus lurus, pertigaan pasar tetep lurus ke timur, sampe ke Jalan Jendral Sudirman, lurus terus ke alun-alun, ke timur terus ada gang kecil, masuk, sebelah kanan deket Mushala nah, itu tempat warung sate “Gawe Puyeng”. Hadoooh…mangsude jalur mencari jejaknya si Lisus cs. Abis si Lisus cs yang ngga bertanggung jawab itu pergi gitu aja, katanya eh katanya, yang namanya pohon beringin di alun-alun udah kayak rambut rocker yang ngga pake shampo 10 tahun terus diacak-acak pake garpu raksasa. Kebayang ngga?? Selain itu, pohon-pohon juga banyak yang tumbang, reklame jebol, rusak parah, motor juga banyak yang roboh, gerobak-gerobak PKL guling, tabung gasnya nggelinding di jalan, martabaknya beterbangan dibawa angin Lisus itu (Ooo…jadi gitu tujuannya..), atap-atap bocor, seng2 kebawa angin, hadoh ngeri…ngerrrriiii…(kalo ga bisa ngomong errr berarti ngellliiiii) deh pokokee. Abis badainya selese, tinggal pohon2 gedhe di alun-alun yang sujud ke timur semua gara2 oleng sama si Lisus-tak-berperasaan. Hfuff…dosa apa hambamu ini Ya Allah (akeh!! utang urung dibayar, senenge nyiwiti, pelit, de el el).

Nah, pas kejadian begitu, aku ngga lagi ada di TKP tapi lagi di rumahku yang aman, sehat, sentosa. Pengin tau lagi ngapain?? BE-LA-JAR!!! (Jegggeeerrrr!!!! Belajar???). Yuph…akhirnya setelah sekian abad buku2 catatanku tersimpan di lemari makanan ga pernah tersentuh tangan manusia (paling banter disentuh tangan tikus, digerogoti lebih tepatnya), sekarang aku buka satu persatu meskipun hanya tinggal sisa2 bagian yang belum dikrikiti tikus rumah (buat dijadiin bungkus kacang rebus mangsuteh…). Pas denger kabar si Lisus berbuat ulah, coba tebak apa yang lagi aku pikirin??? Selain mikirin Jackson Rathbone sama Taylor Lautner (huwaww…dia keren banget di New Moon), aku juga mikirin SE-KO-LAH. Ga percaya?? Serius koh. Aku langsung teringat sekolahku tercinta SMA Negeri 1 Purbalingga yang sangat kupuja (Hueekksss…lebay temen). Aku pun berdoa kepada Tuhan…

Doa anak polos untuk sekolahnya:

“Bismillahirrahmanirrahim…Ya Tuhan, semoga karena angin lisus ini ruang yang buat nyimpen soal-soal Try Out bocor, Ya Tuhan… jadinya soal2 Try Out basah semuanya dan Try Out Besok dibatalin…Amieeeennnn…” (tersenyum licik!). Huhui…

(Dengan penuh kekhusyukan, anak polos ini mengamini doanya dan berkata “Semoga terkabul, mengko soale pada ancur kaya bubur, hahah, trus Try Out dibatalna dadi ora ngakeh2ih pikiran. HUAHAHAHAHA…HUAHAHAHAHA…”)

Tapi.
Ternyata doa yang diucapkan sepenuh hati itu belum sampai ke Tuhan (mungkin salah kirim, atau kena tilang sama Waka Kurikulum, hihihi… Ampun, Pak).
Untung tak dapat ditolak, malang tak dapat diraih…(kebalik ya?)
Esoknya Try Out tetep dijalankan….Hkruzzzz Nyebelinn!!!
Meskipun ada beberapa ruang yang sedianya dijadikan tempat Try Out dipindah karena kebajiran, nah loh, masih tetep bersikeukeuh ngadain Try Out,ck,ck,ck… Padahal ya, jeng, banyak pohon2 di depan skul eike yang tumbang boo, batang en rantingnya patah, ada papan yang rusak juga, buku2 di beberapa ruang juga basah, apalagi di ruang BK, Vvu. Buku sama tisu basah merk Johnsons and Joko’s dah ngga ada bedanya. Parahnya lagi, atap kantin yang terbuat dari kanopi pun ikut beterbangan kayak bidadari selesai mandi, trus gara2 iri sama atap kantin yang bisa terbang, seng2 di aula pun ikut2an, jadi deh, aula sama kantin open room…hahahahaha….
Tapi. Tapi. TAAAAPPPIIII!!!! Yang lain sudah separah itu, kenapa kertassoal Try Out ngga cacat sedikitpun??? Kenapa?? Oh, Kenapa?? Nasib… nasib. Jangan2 skul-ku punya ruang rahasia yang kayak di Hogwarts trus buat nyimpen naskah Try Out itu, trus dijaga sama ular raksasa dan jampi2 nyolongus-buntungus. Dan ruang itu merupakan ruang paling aman seeeeeeee-Karang Sentul, tahan air, kedap suara, anti gempa, anti tsunami, anti longsor, anti lecet, anti lengket, dan anti noda.

KENYATAAN PAHIT PUN HARUS DITERIMA
Ada salah satu bab Matematikan namanya Logika Matematika. Lha wong dasar aku ngga pernah mikir pake logika alias ngawur terus, gimana pake logika?? Tapi dengan ketelatenan bak seorang ilmuwan-mata-pitik, dan dengan kecerdasan yang luar biasa amburadulnya, saya berhasil membuat sebuah Logika Matematika yang sangat membanggakan:
1)Jika kamu anak sekolah maka kamu sekolah
2)Jika kamu anak sekolah maka kamu mengikuti ujian
3)Sebelum ujian, semua anak sekolah mengikuti Try Out
4)Jika ikut Try Out maka stress
5)Jika Stress maka sengsara
Kesimpulannya adalah “Jika Sekolah maka Sengsara”
Hari Pertama Try Out, 18 Januari 2010, Materinya Biologi dan Bahasa Indonesia. Ngga terlalu ngeri sih, tapi tetep aja, kalo udah mentok, jurus Bismillahirrahmanirrahim-langsung-ketemu pun dipakai, tapi ngga sering2 amat. Setidaknya masih cukup amunisi simpanan buat besok2. Hahahahaha
Hari Kedua Try Out, 19 Januari 2010, Matematika(=neraka) dan Bahasa Inggris. Ya Allah, …Listening sectionnya gile benerr…biasane angger latian alon, siki cepet banget. Padahal udah aku bilang suruh pelan, eh, masih tetep cepet juga, jane yang ngomong denger ga sih kalo aku protes??
Setelah Bahasa Inggris, Lha…ini,ini.. MATEMATIKA, Ya Allah…yang namanya bikin soal ngga pake perasaan (ya iyalah, gaer soal ya ngganggo pulpen udu nganggo perasaan. Priben carane, Hafi?). Sampe bel peringatan 10 menit terakhir, semua anak pada teriak2, kaget, shock. Aku?Apalagi. WAAADDDAAAWWWW!!!! MASIH 10 NOMER YANG BELUM DIKERJAIN….!!!!!SETTAAANNN!!!! Langsung deh, cadangan amunisi aku keluarin dan kepake semua. Dor!Dor!Dor!Dor!!!Dordordor!!! Hfiufff…(niruin ganyanya Charlies Angels). Kemudian… TEEETT..TEEETTT…Bel selesai ngerjain berbunyi kayak lagi ngejek. Aku pun keluar kelas dengan hati hancur berkeping-keping dan otak menceng sebelah (emang dari dulu mbok??). Setelah berada di luar, aku ngliat suasana penuh emosi. Ada temenku yang nginjek2 soal matem sampe ancur, ada yang saking keselnya teriak-teriak sampe nangis, ada yang loncat2 kayak colaps, ada yang dengan penuh emosi ngga tau ngomong ke sapa “Sapa sing gawe soal jane? Maju ngeneh!!! Maju!!! Wanine gawe soal tok, ora wani ngadep aku!!”, ada yang cuma diem lemes bahkan sampe ngga bisa ngomong apa2, ada yang ketawa2 ngga jelas, ada juga yang teriak2 kayak kesurupan sambil ngomong “Sialan…AKU NEMBAK ORA NDELENG SOAL…KYEE…GEMBLUNG, AKU NEMBAK ORA NDELENG SOAL…LANGSUNG BAT,BET,BAT,BET…!!!!HHHUUAAAA…”
DAN AKU?? Lemes. Cuma bisa menghibur diri dengan berkata “Tumben soal Matem gampang.” GUBRAK!!!
Tanganku gemeter, kakiku juga, ngga berani langsung pulang naik motor mbok kenapa2 di jalan (misalnya ketemu banci apa nabrak kodok, nah loh?). Eh,kebeneran ada yang ngajak jajan mie ayam. Aku ikut aja. Samnil ngilangin stress aku masukin sambel segentong ke mie ayamku,,,stress hilang…mencret pun datang,hahaha…
Sambil makan, aku dan temen2ku yang juga dibikin stress gara2 matem, ngrencanain aksi balas dendam ke guru2 matem yang bikin soal biadab ini. Rencananya kita culik guru2 matem se-Purbalingga trus dicek pake detektor kejujuran, sapa yang terbukti bikin soal bakalan kita kelitikin sehari non stop sampe gila, terus pas ketawa, kita masukin bom molotov ke mulutnya dan…DDDDUUUUUUAAAARRRR!!!! Misi selesai.
Niscaya ngga ada lagi guru matem yang berani bikin soal susah2. Yang ada soalnya kayak gini:
Petunjuk: Pilihlah jawaban yang paling tepat. Jangan memilih jawaban yang salah!
1).1+1=…
a. 2 b. salah

Hahahahaha…Perfect!!

Hari ketiga Try Out, 20 Januari 2010. Fisika sama Kimia (O..ow…). Kalo kemaren Biologi sama Bahasa Indonesia, yang ngga usah dipelajari Bahasa Indonesianya. Pas Matem sama Bahasa Inggris, yang ngga usah dipelajari Bahasa Inggrisnya. Nah, Matem sama Kimia yang ngga usah dipelajari yang mana??? hadoh…pas malem sebelumnya, aku udah nyetel jam alarm pukul 01.00 WIB buat bangun dan belajar malem2. Eh, ngga taunya aku bangun jam setengah satu buat apa coba? Buat matiin jam alarm. Gile aje…aku tidur sampe pagi,deh…dan ngga ada agenda belajar pagi. Alhasil, aku ngga belajar bener (Emang pernah belajar bener??////Pernah. Pas UAN SD, wee!!)
Paginya aku ngerjain Fisika dengan persiapan amunisi super. Lha wong amunisi super aja masih sering reload, berarti aku juga harus pake jurus Basmallah-langsung-ketemu, atau pake Al-Fatihah, atau pake apa kek, yang penting jangan Al-Baqarah. Ato kalo oret2an ketemunya misal 250, eh ngga ada di pilihan ganda, yang ada angka 500, ya udah aku pilih aja. Kalo lupa rumusnya, tinggal angka yang ada di soal dibagi,dikali,dijumlah,dikurangi,diakar, trus kalo ketemu lagi di pilihan ganda ya tinggal pilih!! Gampang kan?
Begitu juga yang terjadi pada Kimia. Boro-boro belajar Kimia, Fisika aja mau muntah.

Yah…Begitulah!!!

Abis Try Out hari terakhir, rasanya kepala udah kayak knalpot, panas, keluar asep tebel, rambut rontoh, bibir pecah2, mata sembab, muka pucat, dan hidung gatel(yang ini apa hubungannya?). Beda tipis sama penderita autisme, lah.

Pesan Moral : Ternyata mukul2in buku ke kepala ngga bikin kita jadi ngerti isi buku itu.

Kakak2ku yang udah pada lulus SMA, apa kalian juga ngrasain hal yang sama kayak aku apa aku ngga sih?